Pelajar Kok Begitu
Assalamualaikum, akhi dan ukhti yang soleh dan solehah. Terima kasih ya
masih sering mampir di blog saya. Semoga tulisan saya yang sudah dibaca para
pembaca dapat memberi manfaat.
Di antara pembaca blog saya mungkin masih ada yang sekolah atau kuliah,
mungkin ada juga yang sudah bekerja. Saya ingin mencurahkan keprihatinan saya
terhadap pelajar zaman sekarang, khususnya di Indonesia. Belakangan ini saya
banyak melihat pelajar melakukan hal-hal yang di nilai tidak sepantasnya
dilakukan oleh mereka.
Siapa di antara akhi dan ukhti yang saat sekolah atau kuliah mendapat
julukan Anak Cerdas, Anak Pintar dan Anak Teladan? Bagi saya pribadi, gelar
seperti itu sungguh sangat membanggakan sekaligus membebankan. Bebelumnya mohon
maaf, bukan bermaksud menyobongkan diri atau ria, saat sekolah dulu sejak
tingkat SD hingga SMA saya salah satu
anak yang mendapat julukan seperti di atas. Ada teman yang sempat nyeletuk
“Mel, loe makan apa sih ko bisa pinter?.” Mendengar celetukan seperti itu saya
hanya bisa senyum. Senang? Oh itu jelas. Siapa yang tidak senang dibilang
pintar? Asal jangan dibilang pintar bohong saja. Hehehe..
Menanggapi celetukan teman saya tadi, saya ingin sedikit bercerita soal
pengalaman sekolah saya dulu. Di sekolah, saya termasuk anak yang aktif bahkan
mungkin hiperaktif , banyak tanya, bawel (cerewet), galak, cuek sama lawan
jenis, dan suka humor. Pribadi saya yang seperti itu jelas menimbulkan rasa
tidak suka pada beberpa teman saya. Ini yang saya bilang sebagai beban. Ada
yang membenci saya secara terang-terangan, entah itu karena mereka tidak suka
dengan julukan pintar yang saya dapat dari guru dan teman dalam bidang akademik
atau mungkin juga karena hal lain. Ada juga yang membenci secara diam-diam, di
depan saya manis, tapi di belakang saya justru berkata pahit. Ya begitulah
anak-anak, maklum waktu itu usianya masih pada labil jadi wajar kalau ada yang
saling iri, saling membenci, dan saling sikut.
Bahkan lucunya lagi, ada yang bilang kalau saya pintar karena makan
jengkol. Aduh ini bikin ilfeel ya? Hehehe. Hal ini bukan tanpa alasan, karena
pada kenyataannya saya menyukai makanan yang bernama jengkol. Saya bahkan lebih
memilih makan dengan jengkol jika disuruh makan daging. Karena menurut saya
jengkol lebih enak rasanya dibanding daging. Hehehe...aneh ya? Muncul
pertanyaan, kok doyan jengkol, Mel? Gak takut bau mulut atau di cap norak? Ah,
saya tipe orang yang tidak mau ambil pusing dengan hal-hal yang sepele. Selama
hal yang saya lakukan tidak mendapat murka dari Allah, it is Ok. Jengkol tidak
mendatangkan murka Allah, toh? Kenapa mesti repot? Bau mulut, ya tinggal sikat
gigi dan makan permen yang wangi. Dibilang norak, ya sudah biarkan saja. Kalau
kata Almarhum Bapak Gusdur “Gitu aja kok repot.” :)
Sudah ya cerita tentang saya, takut akhi dan ukhti malas bacanya. Hehe.
Kita beralih ke topik utama tentang pelajar. Cerita tentang saya tadi ada
kaitannya dengan topik ini. Bagi akhi dan ukhti, apa sih tujuan sekolah atau
kuliah? Mungkin ada yang jawab : biar jadi orang pintar, biar jadi orang yang
bermanfaat, biar jadi persiden atau menteri, biar jadi pengusaha kaya raya,
biar bisa dapat pasangan yang pintar, biar jadi orang sukses, biar dapat
ijazah, biar nambah ilmu pengetahuan, biar dapat kerjaan enak, dan lain
sebagainya. Atau bahkan mungkin ada yang jawab : sekolah tidak punya tujuan
karena disuruh orang tua aja. Ckckck.. istighfar ya bagi yang bicara seperti
itu.
Pada dasarnya pendidikan yang ditempuh oleh akhi dan ukhti baik itu
yang formal atau non-formal mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjadikan
manusia yang cerdas. Cerdas dalam urusan dunia dan akhirat. Point ini sangat
penting . Cerdas dalam kehidupan duniawi saja hanya akan menjadikan akhi dan
ukhti sebagai manusia yang tidak
bermoral. Kehidupan akhirat erat dengan agama, dan agama lah yang mengajarkan
kita bahwa Allah menciptakan manusia bertujuan untuk beribadah kepada-Nya. Jika
kita sekolah atau kuliah setinggi mungkin bukan karena niat ibadah kepada Allah,
bagaimana hasilnya? Jawab sendiri ya akhi dan ukhti. Pasti akhi dan ukhti tahu
jawabannya. Cerdas dalam hal duniawi saja tanpa diiringi kecerdasan dalam hal
akhirat juga akan menjadikan manusia tidak memilki tanggung jawab terhadap
Allah. Semua yang dilakukan akan dijalani tanpa aturan agama, yang haram jadi
halal, dan yang halal jadi haram. Orang itu hanya akan melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang berlaku di dunia saja tanpa memikirkan apakah hal yang
dilakukannya itu bernilai positif di akhirat kelak.
Jika kita perhatikan sekarang
kebanyakan orang hanya pintar dalam hal duniawi saja namun kurang memperhatikan
kecerdasan akhirat. Tidak jarang kita melihat pelajar yang bersikap bagaikan
orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan.
Mahasiswi dan mahasiswa yang jatuh dalam dunia prostitusi, narkotika, dan
perampokan, pelajar tingkat SMA yang terlibat tawuran hingga meregang nyawa,
guru yang bertindak anarkis bahkan cabul, siswa yang saling mem-bully satu
dengan yang lain, anak sekolah yang bolos padahal orang tua mereka hanya
mengetahui bahwa mereka benar-benar datang ke sekolah, pelajar yang membohongi
orang tua soal biaya pendidikan yang harus mereka bayar kepada pihak sekolah
dengan cara melebihkan jumlah nominal yang ditentukan pihak sekolah lalu
menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat., dan masih banyak lagi
kasus-kasus yang tidak layak dilakukan oleh seorang pelajar.
Semua contoh di atas bukan hanya sekedar cerita. Peristiwa itu jelas
terjadi, baik itu di tempat lain mau pun di sekitar kita sendiri. Saya bahkan
punya cerita soal siswi yang tega membohongi orang tuanya tentang biaya SPP sekolah.
Orang tua siswi tersebut selalu rutin memberikan uang SPP setiap bulannya untuk
disetorkan kepada pihak sekolah agar tidak ada tunggakan. Namun apa yang
dilakukan oleh siswi tersebut dengan uang yang diberi oleh orang tuanya? Dia
tega menggunakan uang itu untuk pergi ke salon. Astaghfirullah al-adzim...sungguh
itu adalah tindakan seorang anak yang tidak patut untuk ditiru.
Orang tuanya bingung ketika dipanggil pihak sekolah karena tunggakan
SPP yang menumpuk. Padahal orang tua siswi tersbut tahunya sudah membayar SPP secara
rutin setiap bulannya. Ketika dipaksa untuk berkata jujur, siswi itu mengaku
bahwa uangnya digunakan untuk perawatan kecantikannya di salon. Tidakkah dia
berfikir bahwa orang tuanya susah payah mengumpulkan rupiah hanya untuk
menyekolahkannya? Orang tua tidak perduli dengan diri mereka sendiri, tapi
mereka peduli dengan masa depan anak mereka.
Lain lagi dengan anak yang suka bolos sekolah. Ini juga kisah nyata yang
sering terjadi di daerah tempat saya tinggal. Seorang siswa di salah satu
sekolah negeri tega membohongi orang tuanya hanya untuk kesenangan pribadi.
Pagi hari anak itu berangkat sekolah dari rumahnya, berpamitan kepada orang
tua, meminta uang jajan dan mencium tangan ayah dan ibunya dengan khidmat.
Semua sikap alim yang ditunjukan kepada orang tuanya hanya topeng belaka,
karena langkah kakinya tidak menuju ke sekolah tapi justru berbelok ke sebuah
tempat rental Play Station. . Uang yang diberikan orang tuanya sebagai jatah
jajan di sekolah dihabiskan untuk main PS. Ckckck.. MasyaAllah
Pada saat pembagian raport orang tua sang anak diberi tahu oleh pihak
sekolah bahwa putranya tidak masuk sekolah selama beberapa minggu. Dan nilai
yang diperolehnya pun jelek. Alhasil anak tersebut tidak naik kelas. Coba bayangkan
jika posisi kita sekarang adalah orang tua dari anak yang gemar membolos tadi.
Apa yang kita rasakan? Marah? Malu? Sedih? Saya rasa semua itu campur aduk
menjadi satu.
Kasus lain yang sering kita lihat di televisi adalah tawuran antar
pelajar. Hal ini jelas terekam oleh kamera dan dilihat oleh orang banyak. Sikap
anarkis mereka mencerminkan betapa bobroknya akhlak pemuda-pemuda tersebut. Para
pelajar itu dengan gagah berani tampil memakai seragam sekolah dengan membawa-bawa
sabuk berkepala besi, benda tajam seperti golok dan parang, gir sepeda yang
disambung dengan sabuk sekolah, batu, bahkan air keras. Nyawa mereka jadi
taruhannya, bahkan nyawa orang lain yang tidak bersalah pun ikut terancam. Di
salah satu stasiun televisi, saya melihat korban tawuran antar sekolah yang rusak
wajah dan beberapa anggota tubuhnya akibat terkena siaraman air keras. Dia
seorang siswa yang hendak menuju ke sekolahnya dan tidak tahu menahu
permasalahan kedua sekolah yang terlibat tawuran. Namun, tiba-tiba segerombolan
orang datang dan menyiram wajah dan bagian tubuh lainnya dengan air keras.
Astaghfirullah, apa dosa anak itu? Itukah cerminan pemuda bangsa Indonesia?
Dimana hati nurani para pelajar yang tidak bertanggung jawab seperti di
atas? Tidak kah mereka membayangkan perasaan orang tua mereka? Rasa sakit, malu
dan sedih menjadi satu dalam benak orang tua yang melihat buah hati mereka
menjelma menjadi seorang anak yang tidak berguna bagi keluarga, agama, bangsa
dan negara. Selama ini mereka berjuang mencari nafkah untuk membiayai
pendidikan anak-anak mereka agar bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi
orang lain. Bayangkan jika salah satu orang tua pelajar nakal tersebut adalah
seorang tukang becak, keringatnya mengucur saat mengayuh becak demi beberapa lembar
uang ribuan, dan dikumpulkan untuk membayar biaya pendidikan anaknya. Lain lagi
dengan yang orang tuanya berprofesi sebagai pedagang asongan keliling, panas
dan hujan seolah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Kaki yang lelah menyusuri
jalan dan gang demi mendapatkan seorang pembeli yang akan membayar hasil
kerjanya dan ditabung untuk keperluan sekolah sang anak.
Yang orang tuanya kuli bangunan? Cipratan semen, panasnya matahari,
pakaian yang kotor bercampur keringat dan pasir, taruhan nyawa jika sedang
membangun gedung bertingkat, apakah semua itu tidak cukup membuat anak-anak iba
kepada orang tua mereka? Orang tua tidak pernah mengaharap imbalan dari
anaknya. Orang tua hanya ingin masa depan anak mereka bisa lebih baik dari mereka
sendiri. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya mengalami kesusahan. Berbagai
cara mereka lakukan demi membahagiakan anak.
Cerita di atas yang membuat saya berfikir dan bertekad untuk menjadi
anak yang membanggakan orang tua saya di sekolah. Itulah mengapa selama sekolah
dulu saya aktif dan bersikap di luar kebiasaan siswa lainnya yang kebanyakan
pendiam dan pasif. Saya harus bisa menjadi anak yang berbeda dengan mereka.
Saya harus bisa membuat guru dan teman saya berdecak kagum dengan prestasi yang
saya dapat. Saya harus bisa membuat orang tua saya tersenyum melihat atau pun
mendengar nama saya disebut sebagai siswa berprestasi di sekolah. Saya harus
bisa membuat orang tua saya satu-satunya orang yang bangga mempunyai anak
seperti saya. Saya harus bisa membuat orang tua saya dipuji oleh orang lain
karena prestasi yang saya dapat. Dan yang terpenting, saya harus bisa membuat
Allah ridho terhadap apapun yang saya lakukan. Kata-kata tersebut yang saya
tanam dalam hati dan fikiran saya selama saya bersekolah dulu.
Meski pun saya bukan seorang pemerhati pendidikan atau pun pakar dalam
bidang pendidikan, namun saya sangat menyayangkan sikap pelajar seperti di
atas. Pemuda adalah tonggak kemajuan suatu bangsa. Jika pelajar Indonesia masih
banyak yang bersikap layaknya manusia yang tidak pernah mengenyam pendidikan,
mau jadi apa negeri kita tercinta ini?
Jika di antara kita masih ada pelajar yang tidak mencerminkan seorang
intelek, yuk kita ingatkan. Mari kita bersama-sama berlomba-lomba dalam hal
kebaikan. Kalau kita membiarkan orang-orang berlaku dzalim itu sama saja kita
mendukung kedzaliman tersebut. Minimal kita mendoakan supaya orang-orang yang
bersikap dzalim dapat berubah. Kita juga bisa menegurnya dengan sopan,
mengajaknya bergurau agar tidak tersinggung. Berubah atau tidaknya seseorang
itu adalah kuasa Allah, Dia yang mampu membulak-balikkan hati manusia. Sekeras
apapun usaha kita untuk mengubah seseorang, jika Allah tidak berkehendak maka
semua tidak akan pernah terjadi.
Siapapun yang membaca tulisan ini, baik itu yang masih sekolah atau
tidak, sudah sepatutnya kita peduli dengan nasib pelajar Indonesia. Semoga
tulisan saya ini bermanfaat bagi pembaca semua. Mohon maaf jika ada kata-kata
yang menyinggung hati pembaca, saya hanya manusia biasa tempatnya salah dan
khilaf.
Syukron. :)
Komentar
Posting Komentar