Siapkah Kau Menikah Dengan Orang Yang Tidak Kau Kenal Sama Sekali?



Assalamualaikum Wr Wb. 

Bagaimana kabarnya akhi dan ukhti? Semoga sehat selalu ya. Oya dan tidak lupa juga semoga kita selalu dalam ridha Allah. Aamiin..

Sebelumnya terima kasih ya masih mau mampir dan membaca tulisan saya.  :) 

Ini postingan pertama di tahun 2016. By the way, apa resolusi tahun baru akhi dan ukhti di tahun 2016? Banyak ya? Salah satunya apa? Hmmm… mungkin ada yang menyebutkan “Menikah”.

Udah ngebet ya??Hehehe. 

Tenang, itu resolusi yang baik ko. Menikah adalah impian semua orang. Jadi wajar-wajar saja dan sah-sah saja jika punya resolusi seperti itu. Tapi tetap harus diperhatikan ya syarat-syarat pernikahannya, agar kelak rumah tangganya tetap samawa. Jangan asal nikah aja. Khawatir pernikahan yang dibangun tanpa pondasi yang kuat justru akan menimbulkan kesengsaraan bukan kebahagian bagi suami dan istri. 

Saya punya cerita nih untuk akhi dan ukhti yang punya resolusi menikah. 

Saat itu tanggal 31 Desember 2015, tepat malam tahun baru 2016. Orang-orang sedang berpesta pora menyambut kedatangan tahun 2016. Segala macam acara mereka susun sedemikian rupa untuk melepas tahun 2015. Lain lagi dengan saya. Saya hanya duduk berdua dengan senior saya dikantor. Rekan yang lain sudah pulang. 

Sengaja saya tidak pulang cepat ke kosan dan memilih duduk mengobrol dengan senior saya itu. Saya panggil dia Mba Nana, dia lebih tua setahun dari saya. Namun Ilmu dan pengetahuannya bertingkat-tingkat lebih baik dari saya yang miskin ilmu. 

Duduk berdua didepan computer sambil mendengarkan lagu korea yang mellow, saya bersenda gurau dengan Mba Nana. Namun tiba-tiba dia betanya “Mel, Melan pilih mana? Dijodohkan atau pilih sendiri (soal jodoh)?Terus  Melan mau gak menikah dengan orang yang tidak Melan kenal sama sekali?”.

Awalnya saya tersenyum mendengar pertanyaan Mba Nana. Malu sebenarnya kalo bicara soal jodoh dan menikah. Tapi saat itu saya langsung menjawab tanpa basa basi.

Pertanyaan pertama, soal dijodohkan atau menikah dengan pilihan sendiri. Dengan tegas saya jawab  bahwa saya memilih dua-duanya. Memilih menikah dengan lelaki pilihan sendiri boleh, dijodohkan oleh orang tua atau saudara atau teman pun saya tidak masalah, ikhlas dan menerima dengan senang hati. Jujur, saya jawab itu dengan hati yang tidak ragu sekalipun. 

Jika boleh jujur, saya adalah tipe wanita yang keras kepala. Tidak bisa diatur dan lebih suka mengambil keputusan sendiri. Namun tetap dengan meminta restu orang tua. Semua yang terjadi dalam hidup saya saat ini adalah pilihan saya sendiri. Namun untuk urusan pasangan hidup, saya tidak selalu ingin memutuskannya seorang diri. 

Dari dulu saya berfikir bahwa yang namanya jodoh sudah diatur oleh Allah, dan saya tidak pernah meragukan bagaimana cara mendapatkannya. Entah itu melalui diri saya sendiri, melalui orang tua, teman, saudara atau siapapun. Dijodohkan atau di comblangin, menurut saya itu tidak masalah selama orang yang mereka jodohkan dengan saya baik agamanya. 

Mungkin terdengar klise atau munafik, tapi serius itulah jawaban saya,dan  Allah tahu jika saya berbohong. Kebanyakan orang mungkin berfikir bahwa perjodohan dijaman modern seperti sekarang ini adalah hal yang sangat norak, kuno dan ketinggalan jaman. Kaya Siti Nurbaya aja deh.  Betul?
Kenapa saya tidak menolak metode perjodohan jika itu terjadi dengan saya? 

Pertama, menurut saya perjodohan itu salah satu metode yang baik untuk proses taaruf. Taaruf kan perkenalan melalui pihak ketiga yang puny batas waktu. Siapa pihak ketiganya? Ya orang yang menjodohkan itu. Dia yang yang menjodohkan seseorang kepada kita akan menjadi jembatan perantara untuk mengetahui seluk beluk sang jodoh. 

Kedua, perjodohan adalah ladang yang baik untuk mendapatkan pahala jika perjodohan itu dilakukan oleh orang tua kita sendiri. Ketika orang tua kita menjodohkan kita dengan seseorang yang baik  menurut mereka, lalu kita mematuhi permintaannya, maka orang tua kita akan merasa senang karena perjodohannya diterima oleh sang anak, dan pahala akan mengalir pada kita. Insya Allah… 

Ketiga, perjodohan juga merupakan metode untuk kita belajar ikhlas menerima apapun yang telah Allah berikan pada kita. Ketika kita mengharapkan orang yang kita suka bisa menjadi pasangan kita, tapi justru  Allah mengirimkan pasangan lain yang tidak kita harapkan melalui orang tua, teman, atau saudara, otomatis akan timbul perasaan tidak suka atau mungkin kecewa. Namun bagi orang yang menyadari bahwa semua yang terjadi tidak semata-mata kebetulan dan ada zat yang mengatur semua kejadian ini, maka dia akan berusaha ikhlas menerima apapun yang terjadi dalam hidupnya. 

Pertanyaan kedua, apakah saya berani menikah dengan orang yang tidak saya kenal sama sekali? Pertanyaan ini jelas ada hubungannya dengan pertanyaan pertama. Sekali lagi saya jawab dengan tegas bahwa saya berani, siap, mau dan menerima. Toh ada proses taaruf kan. Saya bisa mengenal calon pasangan saya melalui pihak ketiga. 

Mba Nana tanya “Yakin Melan mau? Kalau salah pilih gimana? Bagaimana kalau ternyata orang yang menikahi Melan adalah orang yang salah dan tidak sesuai harapan, lebih jelek agamanya dari Melan sendiri yang justru menginginkan pasangan yang baik agamanya?” .

Saya tahu Mba Nana hanya ingin mengetest saya. Dia ingin tahu jawaban dari saya, junior yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri. Saya juga yakin Mba Nana tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri, pasti jawabannya jauh lebih baik dari saya. 

Untuk menjawab pertanyaan ini memang saya perlu berfikir. Saya bukan tipe orang yang bisa berbohong jika tidak sesuai dengan hati. Jika memang saya tidak bisa melakukannya maka saya akan diam dan tidak mejawab banyak. Namun jika saya merasa bisa melakukannya, maka saya akan jawab semampu saya. 

Begini, hidup adalah sebuah pilihan. Pilihan itu akan diiringi dengan resiko. Begitupun dengan jodoh. Saat saya memilih untuk menikah dengan orang yang tidak saya kenal sama sekali sebelumnya karena dijodohkan oleh pihak ketiga, maka akan ada konsekuensi yang harus saya terima. 

Jika memang saat itu (naudzubillahimindzalik) saya mendapatkan lelaki yang tidak sesuai dengan harapan, jelek tabiatnya, jelek agama dan jelek semuanya maka yang bisa saya lakukan adalah : pertama , mencoba berusaha  bersikap ikhlas. Apapun yang terjadi dalam hidup ini tidak ada yang lepas dari pengaturan Allah. Semua ini sudah diatur oleh-Nya. Cobaan atau teguran, jalani saja dengan ikhlas. Apapun yang kita lakukan jika dibarengi dengan keikhlasan maka akan benilai ibadah dimata Allah. 

Kedua, saya hanya bisa berdoa, tidak ada seorangpun yang mampu membolak-balikkan hati manusia selain Allah SWT. Right? Berdoa pada-Nya, meminta  supaya Allah menyadarkan pasangan saya agar kembali kekodratnya sebagai seorang kepala rumah tangga. 

Ketiga adalah mencoba memahami bahwa mungkin Allah mengirim lelaki buruk itu kepada saya untuk saya rubah. Allah ingin merubahnya melalui saya sebagai istrinya. Dengan kata lain, ini juga merupakan ladang pahala yang Allah siapkan untuk saya jika saya bisa dengan sabar menghadapi suami yang tidak lebih baik dari saya agamanya. Walaupun sebenarnya itu bukan tanggung jawab saya sebagai istri untuk menuntun suami menuju jalan yang benar. Tapi tidak ada salahnya jika saya mencoba. 


kuliahdesain.com


Itu jawaban singkat saya. Jelas Mba Nana tidak langsung percaya dengan perkataan saya. “Bicara memang mudah, Mel. Coba seandainya Melan yang berada di posisi tersebut. Apakah masih mau bilang seperti itu?”

Memang betul, bicara itu mudah, tapi pelaksanaannya yang berat. Dari awal memang saya tahu tidak akan ada yang percaya 100% dengan jawaban saya tadi. Sekarang saya balikkan pertanyaanya ke Mba Nana “Jika memang seandainya Mba yang dapat laki-laki yang buruk agamanya itu apa yang akan Mba lakukan? Apakah langsung menceraikannya?”.  Mba Nana tertawa ringan mendengar pertanyaan saya. 

Ya, pertanyaan itu yang terlintas dalam benak saya. Apakah saya juga harus menceraikan suami yang menikahi saya dengan mudahnya saat badai cobaan itu datang? 

Begini, saya punya prinsip seburuk-buruknya kelak suami saya, dia tetap imam yang bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. Tindakan bercerai bukanlah solusi yang bisa diambil dalam sekejap mata atau semudah membalikkan telapak tangan. Memang bercerai tidak haram,tapi dibenci Allah. Cobaan itu datang untuk menguatkan dan menaikkan derajat hamba-Nya. Jalan pertama  yang harus diambil ya apalagi kecuali menghadapinya dulu toh? Masa main kabur aja kaya maling? 

Allah Maha Mengetahui batas kekuatan hamba-Nya. Dia tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Kita harus percaya bahwa cobaan yang menimpa kita itu masih dalam koridor kekuatan yang kita miliki. Jika memang kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bertahan menghadapi cobaan itu, namun tidak menemukan celah kebaikan dibalik  cobaan tersebut .Lalu merasa tidak kuat  dan ingin mengambil keputusan berat, jangan lupa untuk selalu membawa Allah dalam setiap pilihan itu. Lakukan shalat istikharah . 

Semisal Allah mengirimkan signal bahwa yang terbaik adalah bercerai,  baru kita ambil keputusan itu.  Jangan main ambil keputusan seenak jidat tanpa melalui proses sholat istikharah, tanpa melalui proses untuk menghadapinya. Keputusan yang dambil hanya karena menuruti hawa nafsu tidak akan pernah mendatangkan kebahagiaan bagi kita. 

Saya kembalikan pertanyaan Mba Nana yang pertama dan kedua tadi diawal percakapan ke dirinya sendiri. Dia Jawab dengan lantang bahwa dia malah memilih untuk  dijodohkan. Artinya dia hanya ingin pernikahannya berlangsung melalui proses perjodohan. Kenapa? Karena Mba nana merasa tidak percaya diri dengan pilihannya sendiri.  Dia sangat patuh kepada kedua orang tuanya, sehingga apapun yang pilihkan oleh orang tuanya, dia dengan senang hati menerimanya. Dan lagi Mba Nana sangat percaya dengan kedua orang tuanya, dia yakin orang tuanya tahu betul apa yang terbaik untuk anaknya. Saya kagum dengan Mba Nana yang teramat sangat menghormati dan menyayangi kedua orang tuanya sampai rela menyerahkan sepenuhnya soal jodoh kepada kedua orang tuanya 


rainisrainbow.blogspot.com
Lalu soal jodoh yang salah, dia sepakat dengan jawaban-jawaban saya. Jawaban saya tadi sudah termasuk tambahan point dari Mba Nana. Namun ada satu point yang cukup membuat saya merasa takut. Point yang dia tambahkan  yaitu bahwa bisa jadi jodoh yang buruk yang Allah turunkan untuk kita itu merupakan sebuah teguran untuk kita. Lahh ko teguran? 


Sering dengar toh firman Allah dalam Al-Quran Surat An-Nur Ayat 26 yang mengatakan bahwa perempuan yang baik  untuk laki-laki yang baik begitupun sebaliknya. Jodoh adalah cerminan diri. Saat Allah mengirimkan jodoh yang buruk pada kita bisa jadi itu adalah cara Allah untuk mengingatkan kita bahwa selama ini kita belumlah baik dimata-Nya. Jlebbbbbb!!!!!
Ini merupakan point yang saya lupakan. Ya, saya hampir lupa bahwa jodoh adalah cerminan diri. Itu janji Allah yang tidak terbantahkan. Selama ini kita hanya sibuk menilai orang lain tanpa mau sibuk-sibuk menilai diri sendiri sehingga semua kesalahan yang diperbuat oleh pasangan kita selalu saja ditujukan kepada satu pihak. Padahal bisa jadi bahwa itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri. 

Obrolan saya dengan Mba Nana tidak berhenti disitu. Obrolan terus berlanjut hingga topic soal jodoh dan bukan jodoh, soal hakikat menikah bagi dirinya, dan lain-lain. Namun untuk saat ini saya cukupkan sampai disini. Dari percakapan singkat ini saja saya sudah bisa banyak ambil pelajaran yang baik dari  Mba Nana. Obrolan yang lainnya nanti akan saya posting di lain judul. 


Semoga bermanfaat, mohon maaf jika ada perkataan yang tidak berkenan dihati. Kesempurnaan adalah milik Allah dan kesalahan adalah milik saya.

Syukron :)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibu, Aku Ingin Bebas

Ilmu Dunia SARJANA Tapi Ilmu Agama Cuma TK ???

Al-Khawarizmi